FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN
HoRaS HaBaTaKoN !
FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN
A. Pengertian Partuturan
Adapun yang dinamai "partuturan" ialah
hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu).
Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun
ada tiga, yaitu:
1. Hubungan kita dengan "dongan sabutuha".
2. Hubungan kita dengan "hulahula".
3. Hubungan kita dengan "boru".
Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna.
Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu:
1) "Habang binsusur martolutolu,
Malo martutur padenggan ngolu."
Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan.
2)"Habang sihurhur songgop tu bosar,
Na so malo martutur ingkon maos hona osar.
Artinya: Kebodohan, kelalaian dan
keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang
tergeser-geser. Maksud "tergeser-geser" (bahasa Batak "hona osar') ialah
terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya
melarat.
Berhubung dengan kedua filsafat itu,
maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan
untuk keturunannya, sebagai berikut:
1) "Manat mardongan tubu."
Pada waktu ini acap kali diperlengkapi
dan berbunyi: "Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu."
Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan
cermat dalam bergaul dengan "dongan sabutuha" (teman semarga).
Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut.
Adapun "dongan sabutuha" itu dipandang
oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar
mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap
kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap
paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang
senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu
diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita
hati-hati menghadapi "dongan sabutuha" kita. Untuk itu harus kita
periksa dahulu kedudukan "dongan sabutuha" itu dalam "tarombo" (tambo,
silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi
memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu "tarombo"nya mengetahui
tingkat generasinya pada "tarombo"-nya itu. Misalnya "dongan sabutuha"
kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia
masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah
kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan
tempat duduk kita di "juluan" (tempat terhormat) kalau nampak seorang
"dongan sabutuha" dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek)
belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia.
duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih
tua dari dia.
Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka
"dongan sabutuha" itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu,
tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan
spontan ia akan menolak serta berkata, "Ah, tidak, yang tua-tua harus di
hormati, tinggallah di situ, terimakasih." Dalam pada itu ia sudah
senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun
atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu
mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap "dongan sabutuha". Dengan
jalan demikian maka semua "dongan sabutuha" akan selalu solider atas
tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan
sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita.
2) "Somba marhulahula".
Biasanya diperpanjang dan berbunyi:
"Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhulahula." Artinya : Jika engkau
hendak "gabe" (berketurunan banyak) hormatilah "hulahula"-mu.
Keterangannya : Untuk orang Batak maka "hagabeon" lah yang paling
diharapkan dan dicita-citakan. Tanpa keturunan ia tak mungkin
berbahagia. Hal itu terang nampak pada pantun Batak :
"Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru;
Porsuk nina porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru".
Artinya : Penderitaan yang, paling berat ialah tidak berketurunan.
Adapun "hulahula" itu dipandang oleh
orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk
mendoakan "hagabeon" dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah
menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan
kenyataan. Itulah yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap
"hulahula". Juga dalam hal penyelesaian perselisihan dengan "hulahula",
penghormatan itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas
pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi "Sada sala niba, pitu sala
ni hulahula, sai hulahula i do na tutu". Artinya : Walau ada 7 buah
kesalahan "hulahula" dan salah kita hanya satu, maka "hulahula" itulah
selalu dipihak yang benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah
terhadap "hulahula", karena walaupun nampaknya kita menderita rugi,
namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun "hulahula"
itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat
keuntungan materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang
bunyinya, "Anggo tondi ni hulahula i sai tong do mamasumasu iba".
Artinya : Namun, roh "hulahula" itu tetap mendoakan kebahagiaan untuk
kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari
badan.
Buat orang Batak yang taat beragama
tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di atas, karena
dalam ajaran Alkitab tertulis, "Memaafkan kesalahan orang lain tidak
cukup hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus
menerus".
3) "Elek marboru".
Biasanya diperpanjang: "Molo naeng ho
mamora, elek ma ho marboru." Artinya : Kalau ingin kaya, berlaku
membujuklah terhadap "boru".
Keterangan: Sebenarnya menurut 'adat
Batak, "boru" itu dalam hubungan kekeluargaan berada di bawah kita,
sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran leluhur
Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada "boru" sekali-kali
tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan.
Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan
selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara
"boru" dan "hulahula", yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka
dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita
minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan "kaya" di sini
harus diartikan "perasaan kaya", yang maksudnya "perasaan senang". Dan
memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya di dunia ini dan
bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak.
Dalam hal adanya perselisihanpun dengan
"boru", maka hal membujuk inipun harus dipertahankan karena pengaruh dan
akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti pesan nenek
moyang "somba marhulahula" tersebut diatas, sehingga. penyelesaian
persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang
harmonis.
4) "Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu."
Artinya: Jika kamu ingin berbahagia. di dunia ini, hormatilah orang tuamu.
Adapun petuah ini boleh dikatakan
hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan
baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau
Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati
orang tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam
Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat 16, yang berbunyi: "Hormatilah orang
tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu dalam negeri yang
dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu."
Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu :
"Tinaba hau toras bahen sopo tu balian,
Na pantun marnatoras ingkon dapotan parsaulian,
Alai na tois marnatoras, olo ma i gomahon ni babiat."
Artinya : Yang menghormati orang tuanya
akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orang tuanya
mungkin akan diterkam harimau.
Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama
dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung satu sama lain. Tentang
arti luas dari perkataan: "natoras" (orang tua), maka pendapat ahli-ahli
agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu: di samping ibu
dan ayah-kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpin-pemimpin,
pemerintah dan semua orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan
terhadap orang tua yang telah meninggal telah dibahas dalam. "Dapatkah
DNT bertahan sampai akhir zaman ?"
Nasehat No. 4 inilah yang paling utama
harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang ini.
Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai
kebahagiaan yang lama di dunia ini.
Di samping yang telah dipaparkan di
atas, maka "partuturan" itu mempunyai lagi peraturan-peraturan lain yang
juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara
hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan
"parsubangonjo".
B. Pengertian Parsubangon
Adapun yang dimaksud dengan peraturan
"parsubangon" ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang
dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga
terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari
agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh
peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap'
"hulahula" dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara
lelaki istri kita (bahasa Bataknya "bao" tidak boleh berbicara secara.
bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu
adalah "hulahula" yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus
menerima penghormatan sebagai "hulahula", malahan harus lebih daripada
yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang "Ina" (ibu)
filsafat Batak berbunyi :
"Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina."
Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu.
Maksudnya : Di samping menerima
penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi
menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan
tertinggi dalam rumah tangga orang Batak.
Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap "bao" tersebut, sesuai dengan filsafat Batak:
"Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho,
Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao."
Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita.
Tentang penghormatan terhadap istri adik
kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya, "Kenapa begitu,
bukankah istri adik kita itu tidak termasuk "hulahula", malahan adik
kita itu dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian
juga?". Pertanyaan itu memang beralasan benar, karena penghormatan
terhadap "anggiboru" (sebutan dalam bahasa Batak untuk istri adik) itu
nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar karena itu
perlu diberikan penjelasan ringkas.
Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya
abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai ayah baginya,
terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri
adik kita itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi
harus lebih dari itu menurut fungsi kita sebagai "ayah" suaminya
(mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu penuh; perhubungan ini
termasuk golongan "parsubangon"
Sudah barang tentu ketertiban pergaulan
tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan kemesuman yang sering
mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu kala, oleh karena rumah-rumah
biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak
"ripe") dan rumah-rumah itu tidak mempunyai kamar-kamar, sehingga
ketertiban didalamnya antara keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah
kepada kesadaran ber-DNT.
Sudah barang tentu sudah ada
sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu berupa
hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran
atas ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi :
"Habang pidong pua manjoloani sidaodao,
Sai mangunsisi do nasa tua sian jolma na so marpaho,
Sipalea natuatua na so umboto adat marbao."
Artinya : Segala tuah akan menyisih
(lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun dan yang tidak
menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap "bao"
Pada zaman dahulu "parsubangon" luar
biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi tahukan kepada "bao"
nya, bahwa makanan telah menunggu "bao" nya itu, tidak akan menujukan
panggilannya langsung kepada "bao" nya itu, tetapi kepada tiang rumah
dan akan berkata "E tiang, makanlah."
Pada zaman sekarang ini hal serupa itu
tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya dengan cara biasa, tetapi
deagan penuh sopan santun.
C. Perkembangan Partuturan
Adapun yang menjadikan adanya "partuturan" itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga.
Yang pertama (semarga) menjadikan
"pardongan sabutuhaon" (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak
semarga) menjadikan "parhula ianakkonon" (hal ber "hulahula" dan ber
"boru"). Diantara kedua golongan "partuturan" itu maka "pardongan
sabutuhaon" lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang,
sedang "parhula ianakkonon" dapat luntur dan pudar jika tidak
diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau
terjadi perceraian antara suami istri. Namun "parhula ianakkonon" itu
sama saja kedudukannya dalam DNT dengan "pardongan sabutuhaon".
Perbedaan yang unik antara kedua macam
hubungan kekeluargaan itu ialah: "pardongan sabutuhaon" boleh dikatakan
statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya
orang-orang yang bermarga Nababanlah "dongan sabutuha" saya. Lain halnya
dengan "hulahula" dan "boru" yang keduanya berkembang-dengan cepat dan
pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan
keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya
"hulahula" dan "boru".
Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah,
perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur menurut kehendak
kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anak-anak saya dengan
famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (ber"hulahula" dan
ber"boru") dengan marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat,
Silitonga dan lain-lain marga lagi, tetapi belum dengan marga Tobing dan
saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan marga Tobing itu,
karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara
anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang
jauh) kawin dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan
tercapailah keinginan saya itu.
Dimanakah batas-batas "partuturan" itu?
Pertanyaan itu pernah diajukan oleh
seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat luasnya "partuturan"
Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab," Ada filsafat Batak
tentang itu bunyinya sebagai berikut :
Poda do sibahen na sursuran;
Roha do sibahen dao ni partuturan.
Artinya : Pelajaran-pelajaran yang
diterimalah menentukan kepandaian seseorang dan hatilah yang menentukan
batas-batas "partuturan". Maksudnya : kemauan dan suka hati oranglah
yang menentukan batas-batas "pertuturan" nya. Mau luas bisa, mau sempit
boleh juga. Dengan sempit dimaksud hanya famili dikenal saja. Kalau
dikatakan luas, maka turutlah semua famili yang belum dikenal dan yang
belakangan inilah yang paling banyak. Dapatlah kita bayangkan betapa
banyaknya jumlah itu, bila kita ingat bahwa "hulahula" dan "boru" semua
teman sermarga kita turut menjadi "hulahula" dan "boru" kita.
Selain itu ada lagi cara yang sangat
unik khas Batak, untuk memperluas bidang kekelurgaannya. Di bawah ini
diberikan beberapa buah contoh :
A dan B, sama-sama orang Batak, duduk
berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah orang Batak totok
(artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk di
sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : "Apa marga
saudara?"
"Siregar," sahut si B. Kebetulan si A
pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, "Tingkat berapa keluarga
saudara?" Jawab si B, "Tingkat delapanbelas (18)". Mendengar itu
berkatalah si A. "Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat
enambelas."
Hubungan kekeluargaan yang baru saja
ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus dipraktekkan
dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba
saatnya membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, "Tan taran
tante, Masi garar kopina be"
Artinya: Masing-masing membayar kopinya.
Tetapi dengan segera si B membuka
dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa si B membayar? Karena
dia merasa bahwa dia adalah "cucu" si A dan harus menghormati "neneknya"
si A itu sesuai dengan peraturan DNT.
Contoh kedua :
Dalam hal ini si A dan si B berlainan
marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar. Maka terjadilah
pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT
dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, "Santabi, lae. Halak
hita do hamu?" (Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, "Ba i
do." (Ya begitulah) Si A melanjutkan, "Antong, Jolo hutiptip ma sanggar
bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma marga, asa binoto partuturan."
Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan "partuturan" kita.
Sahut si B, "Siregar do ahu." (Saya Siregar).
Mendengar itu si A agak bingung sebentar
karena dia sendiri adalah marga Nababan, dan di antara familinya yang
dekat di kampungnya tak ada seorang pun yang bermarga Siregar. Namun dia
perlu mengetahui hubungan famili dengan temannya seperjalanan itu, agar
selama perjalanan itu dia dapat bergaul dengan si B. Lalu di perasnya
otaknya mengingat, apakah ada di antara familinya yang banyak itu yang
bermarga Siregar. 0 ya, benar di Padangsidempuan ada seorang marga
Nababan beristri putri Siregar. Sebenarnya hubungannya dengan teman
semarganya yang di Sidempuan itu sudah jauh di atas, tetapi hal itu
tidak menjadi penghalang bagi si A, karena menurut peraturan DNT, dia
berhak penuh menyebut orang itu adik atau kakaknya. Maka dengan muka
berseri-seri dia berkata kepada si B, "Bo, syukurlah, saudara adalah
"hulahula" saya, karena ada saudara saya di Sidempuan yang beristri boru
Siregar. Horaslah, "tulang" (mamak)." Sahut si B, "Kalau begitu
syukurlah. Horas ma, amangboru (amangboru ialah panggilan terhadap bapak
suami saudara perempuan. kita ataupun suami dari saudara perempuan ayah
kita).".
Juga dalam hal ini A dan B memandang
hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan terus dipraktekkan.
Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si B
duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih
muda, si B menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran
itu sebagai "hulahula". Tetapi si A mempertahankan ajakannya, katanya,
"Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan, karena itu kita harus
menurut benar-benar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar kopipun si A
menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi
mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada
hubungan kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu,
tetapi juga di tempat-tampat lain dimana saja mereka bertemu.
Sekian penerangan tentang "partuturan".
sumber: horas habatahon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar