Penemuan Rumah Adat Batak di Dasar Danau Toba
Mitos tentang danau toba memang topik yang sangat menarik untuk disimak
disamping karna banyak teori yang menyatakan danau toba itu terbentuk
karna se ekor ikan mas yang merupakan cerita dongeng dan mitos mitos
kecil di balik terjadinya danau toba dan para ilmuwan menyatakan bahwa
danau toba itu terjadi akibat ledakan super yang terjadi di gunung toba
sekitar 73.000 tahun yang lalu.
Danau Toba yang merupakan salah satu danau terluas didunia ini memang menyimpan banyak mistis dari teori-teori dan kejadian nyata yang tampak kita lihat dalam berbagai acara ritual yang di persembahkan di danau toba, persembahan atau sering di sebut pelean bagi orang batak ini tidak jauh berbeda seperti apa yang dilakukan orang jawa pada umumnya, jika di jawa disebut dengan sesajen maka di orang batak acara ritual ini disebut dengan Pelean. Ritual ini masih sangat melekat dalam kehidupan orang batak, ritual itu sering dilakukan dalam acara-acara keluarga, pesta adat, pesta danau toba dan bahkan ritual juga sering di lakukan untuk menemukan atau meminta sesuatu hal.
Hal ini yang membuat saya tertarik untuk membuat tulisan ini ”Rumah Batak di Dasar Danau Toba” penemuan ini memang belum mendapat fakta apa-apa dan bagaimana kebenarannya , menurut salah seorang tokoh batak yang merupakan Nara sumber dari acara Mitos Danau Toba yang di tayangkan di kompas TV mengatakan: kejadian yang terjadi beberapa tahun yang lalu, kala itu seseorang yang tenggelam di danau toba tidak bisa di temukan hingga beberapa hari, kemudian para tokoh batak membuat sebuah pelean (sesajen) untuk mohon petunjuk atas orang yang tenggelam ini, kemudian benar saja ada petunjuk dan tim SAR yang berusaha mencari si korban tersbut berhasil menemukan korban yang tenggelam di dasar danau toba, tetapi yang mengagetkan korban di temukan didalam pemukiman rumah adat batak yang ada didasar danau toba, yang menurut Tim Sar tersebut Sangat indah dan menarik sekali.
Hingga tulisan ini saya turunkan saya tidak menemukan satupun bukti mengenai Fakta yang di ungkapkan oleh Tim SAR tersebut, bagaimana kebenarannya. Tetapi jika kita mengarah ke kejadian Meletusnya Gunung Toba dan melihat kembali sekitaran danau Toba terutama samosir, hal ini memang cukup kuat untuk di jadikan sebagai bukti, kita melihat dari ketinggian gunung pucuk buhit yang merupakan anak dari gunung toba itu sama sekali masuk logika dan hal ini merupakan sesuatu yang harus di telusuri sebenarnya.
Gunung Toba yang meletus hingga radius sampai ke sri langka ini memang tentu masih menyisahkan bukti-bukti nyata yang perlu di telusuri, dan danau toba merupakan saksi bisu dari kejadian tersebut.
Berbagai kejadian mistis di Di danau toba juga sering terjadi terutama di pulau silalahi yang konon katanya merupakan salah satu pulau yang sangat angker, berbagai kejadian aneh sering terjadi disana, dan kejadian-kejadian lain yang terlihat mistis di danau toba seperti kapal terbalik, tenggelam dan banyak lagi. Tapi kembali kepada diri kita sendiri .
Berbagai macam cerita yang melatar belakangi danau toba ini jelas terbukti bahwa keberadaan danau ini karna ada letusan gunung berapi ratusan tahun yang lalu, dan ini sangat jelas. Dan bagaimana pun juga mitos itu tidak bisa lepas dari logos seperti yang beberapa nara sumber katakan, dan mitos ini diciptakan agar masyarakat sumatra utara, itu bisa menjaga keindahan alam karna keindahan alam ini merupakan warisan budaya yang harus di pertahankan dan di lesatarikan, dan berbagai macam cerita. Sekarang kembali kepada anda ingin mempercayai sebuah mitos atau anda mempercayai fakta-fakta di balik sebuah mitos.
Tulisan ini saya rangkum dari Hasil Tayangan Kompas TV 21 feb 2013 pkl 21.00 “Mitos Danau Toba”
Kesaktian Laklak, dan
Legenda Raja-Raja Batak
Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB
IMG-406
Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam
etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa
Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang
tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli,
tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut
ke mulut.
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau
Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa,
hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir,
Sumatera Utara.
Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra
raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah
yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari
berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak
(BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar
Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat
masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat
Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.
Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama
Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa,
mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah
meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit
Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam.
Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak
bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah
benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak.
Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak
keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak
tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau
kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.
Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan
membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan
terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG
NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON
RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI
NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita
membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa
menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing.
Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak
akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi
kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu
sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit
kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.
Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya
mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si
sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.
Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran,
kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan
serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru
Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.
Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng
si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja
bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja
(Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti
Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja
yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab,
dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia
harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk
ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun
terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang
dan ayahnya masuk ke dalam hutan.
Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk
Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti.
Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam
pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik
jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama
bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat
wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis
impiannya itu.
Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat
hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati
dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap
tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati
Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang
kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun
benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan
memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila
anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.
Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah,
kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja
terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia
akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang.
Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi
hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu
Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut
(dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah
bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak
laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.
Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor,
kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian,
Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu
dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja.
Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai
berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya,
keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan
bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya,
mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai
kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja
Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi
berikutnya.
Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas
masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa
Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan,
kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak
memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian
terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari
Bangso batak. (zul)
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan
Legenda Raja-Raja Batak
Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB
IMG-406
Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam
etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa
Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang
tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli,
tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut
ke mulut.
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau
Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa,
hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir,
Sumatera Utara.
Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra
raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah
yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari
berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak
(BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar
Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat
masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat
Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.
Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama
Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa,
mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah
meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit
Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam.
Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak
bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah
benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak.
Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak
keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak
tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau
kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.
Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan
membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan
terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG
NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON
RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI
NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita
membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa
menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing.
Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak
akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi
kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu
sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit
kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.
Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya
mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si
sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.
Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran,
kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan
serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru
Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.
Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng
si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja
bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja
(Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti
Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja
yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab,
dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia
harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk
ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun
terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang
dan ayahnya masuk ke dalam hutan.
Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk
Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti.
Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam
pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik
jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama
bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat
wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis
impiannya itu.
Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat
hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati
dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap
tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati
Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang
kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun
benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan
memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila
anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.
Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah,
kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja
terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia
akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang.
Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi
hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu
Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut
(dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah
bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak
laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.
Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor,
kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian,
Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu
dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja.
Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai
berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya,
keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan
bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya,
mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai
kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja
Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi
berikutnya.
Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas
masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa
Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan,
kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak
memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian
terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari
Bangso batak. (zul)
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan
Legenda Raja-Raja Batak
Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB
IMG-406
Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam
etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa
Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang
tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli,
tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut
ke mulut.
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau
Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa,
hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir,
Sumatera Utara.
Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra
raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah
yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari
berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak
(BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar
Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat
masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat
Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.
Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama
Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa,
mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah
meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit
Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam.
Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak
bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah
benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak.
Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak
keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak
tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau
kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.
Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan
membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan
terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG
NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON
RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI
NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita
membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa
menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing.
Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak
akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi
kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu
sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit
kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.
Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya
mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si
sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.
Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran,
kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan
serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru
Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.
Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng
si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja
bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja
(Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti
Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja
yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab,
dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia
harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk
ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun
terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang
dan ayahnya masuk ke dalam hutan.
Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk
Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti.
Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam
pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik
jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama
bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat
wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis
impiannya itu.
Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat
hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati
dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap
tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati
Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang
kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun
benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan
memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila
anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.
Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah,
kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja
terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia
akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang.
Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi
hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu
Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut
(dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah
bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak
laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.
Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor,
kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian,
Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu
dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja.
Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai
berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya,
keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan
bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya,
mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai
kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja
Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi
berikutnya.
Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas
masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa
Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan,
kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak
memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian
terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari
Bangso batak. (zul)
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan
Legenda Raja-Raja Batak
Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB
IMG-406
Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam
etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa
Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang
tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli,
tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut
ke mulut.
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau
Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa,
hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir,
Sumatera Utara.
Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra
raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah
yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari
berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak
(BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar
Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat
masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat
Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.
Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama
Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa,
mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah
meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit
Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam.
Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak
bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah
benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak.
Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak
keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak
tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau
kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.
Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan
membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan
terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG
NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON
RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI
NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita
membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa
menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing.
Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak
akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi
kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu
sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit
kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.
Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya
mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si
sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.
Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran,
kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan
serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru
Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.
Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng
si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja
bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja
(Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti
Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja
yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab,
dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia
harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk
ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun
terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang
dan ayahnya masuk ke dalam hutan.
Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk
Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti.
Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam
pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik
jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama
bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat
wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis
impiannya itu.
Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat
hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati
dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap
tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati
Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang
kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun
benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan
memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila
anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.
Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah,
kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja
terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia
akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang.
Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi
hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu
Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut
(dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah
bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak
laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.
Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor,
kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian,
Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu
dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja.
Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai
berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya,
keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan
bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya,
mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai
kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja
Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi
berikutnya.
Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas
masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa
Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan,
kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak
memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian
terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari
Bangso batak. (zul)
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan
Legenda Raja-Raja Batak
Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB
IMG-406
Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist)
medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam
etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa
Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang
tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli,
tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut
ke mulut.
Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau
Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa,
hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir,
Sumatera Utara.
Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra
raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah
yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari
berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak
(BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar
Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat
masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat
Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga.
Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama
Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa,
mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah
meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit
Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam.
Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak
bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah
benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak.
Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak
keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak
tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau
kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun.
Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan
membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan
terlebih dulu memanjatkan doa (martobas).
Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG
NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON
RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI
NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP.
“Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita
membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa
menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing.
Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak
akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi
kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu
sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit
kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen.
Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya
mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si
sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya.
Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran,
kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan
serupa juga dipanjatkan si bungsu.
Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru
Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon.
Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng
si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja
bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja
(Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti
Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja
yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab,
dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia
harus ditempa di Pusuk Buhit.
Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk
ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun
terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang
dan ayahnya masuk ke dalam hutan.
Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk
Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti.
Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti.
Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam
pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik
jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama
bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat
wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis
impiannya itu.
Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat
hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati
dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap
tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati
Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang
kandungnya sendiri.
Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun
benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan
memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila
anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung.
Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah,
kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja
terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia
akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang.
Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi
hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu
Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut
(dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah
bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak
laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor.
Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor,
kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian,
Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu
dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja.
Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai
berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya,
keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan
bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya,
mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu.
Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai
kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja
Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi
berikutnya.
Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas
masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa
Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan,
kebudayaan dan keagamaan.
Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak
memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian
terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari
Bangso batak. (zul)
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Tidak ada komentar:
Posting Komentar