Rabu, 30 Oktober 2013

MARTUTUR



Partuturan atau sering juga disebut Dalihan natolu yaitu burju marhula-hula, denggan mardongan tubu, elek marboru yang termasuk dalam dalihan natolu dapat dilihat dalam pembahasan dibawah ini.

Dongan sabutuha (pertalian darah)
Yang masuk dalam hubungan dongan sabutuha adalah:
1. Opung (orang tua dari ayah kita)
2. Amang (bapak)
3. Amang tua (abang dari bapak kita)
4. amang uda (adik dari bapak kita)
5. Akkang (abang)
6. Anggi ( adik)
7. Hahadoli / opung tinodohon
8. anggidoli
9. Amang mangulahi
10. opung mangulahi

Hula-hula

Yang termasuk dalam hula – hula kita adalah:
1. Simtua doli (bapak, amang tua, amang uda dari suami/istri kita)
2. Simatua boru (ibu, inang tua, inang uda dari suami/istri kita)
3. Tunggane (abang dari istri kita)
4. Inang bao (istri dari tunggane)
5. Tulang naposo (anak dari tunggane)
6. Nantulang naposo (istiri dari tulang naposo)
7. Opung (ayah / ibu dari simatua)
8. Tulang (abang dari ibu kita)
9. Nantulang (istri dari tulang)
10. Opung bao (orang tua dari ibu kita / kakek nenek dari ibu kita)
11. tulang rorobot (semua hula-hula dari hula-hula kita)
(tulang dari ibu kita dan tulang dari istri kita)
12. bona tulang (hula – hula dari opung suhut)
13. Bona ni ari (hula –hula opung suhut dari bapak kita)

Parboru
Yang termasuk dalam parboru adalah:
1. hela (suami dari putri kita)
2. lae (amangtua/amang uda ni hela)
(suami dari kakak kita)
(anak dari amang boru)
(ayah dari amang boru )
3. ito (inang tua / anang uda dari hela)
(putri dari amang boru)
(Ibu dari amang boru)
4. amang boru (Suami dari kakak bapak kita)
(abang/adik dari amangboru kita)
5. namboru (kakak dari bapak kita)
6. bere (Abang, kakak, adik dari hela)
( Anak laki-laki/perempuan dari kakak kita)
( Kakak dari amangboru kita)

PARTUTURON

FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN

HoRaS HaBaTaKoN !

FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN

A. Pengertian Partuturan

Adapun yang dinamai "partuturan" ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu:

1. Hubungan kita dengan "dongan sabutuha".

2. Hubungan kita dengan "hulahula".

3. Hubungan kita dengan "boru".

Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna.

Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu:

1) "Habang binsusur martolutolu,
Malo martutur padenggan ngolu."

Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan.

2)"Habang sihurhur songgop tu bosar,
Na so malo martutur ingkon maos hona osar.

Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang tergeser-geser. Maksud "tergeser-geser" (bahasa Batak "hona osar') ialah terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat.

Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut:

1) "Manat mardongan tubu."

Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: "Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu." Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan "dongan sabutuha" (teman semarga).

Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut.

Adapun "dongan sabutuha" itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati menghadapi "dongan sabutuha" kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan "dongan sabutuha" itu dalam "tarombo" (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu "tarombo"nya mengetahui tingkat generasinya pada "tarombo"-nya itu. Misalnya "dongan sabutuha" kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk kita di "juluan" (tempat terhormat) kalau nampak seorang "dongan sabutuha" dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia.

Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka "dongan sabutuha" itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, "Ah, tidak, yang tua-tua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih." Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap "dongan sabutuha". Dengan jalan demikian maka semua "dongan sabutuha" akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita.

2) "Somba marhulahula".

Biasanya diperpanjang dan berbunyi: "Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhulahula." Artinya : Jika engkau hendak "gabe" (berketurunan banyak) hormatilah "hulahula"-mu. Keterangannya : Untuk orang Batak maka "hagabeon" lah yang paling diharapkan dan dicita-citakan. Tanpa keturunan ia tak mungkin berbahagia. Hal itu terang nampak pada pantun Batak :


"Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru;
Porsuk nina porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru".

Artinya : Penderitaan yang, paling berat ialah tidak berketurunan.

Adapun "hulahula" itu dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan "hagabeon" dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap "hulahula". Juga dalam hal penyelesaian perselisihan dengan "hulahula", penghormatan itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi "Sada sala niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula i do na tutu". Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan "hulahula" dan salah kita hanya satu, maka "hulahula" itulah selalu dipihak yang benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap "hulahula", karena walaupun nampaknya kita menderita rugi, namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun "hulahula" itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, "Anggo tondi ni hulahula i sai tong do mamasumasu iba". Artinya : Namun, roh "hulahula" itu tetap mendoakan kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari badan.


Buat orang Batak yang taat beragama tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di atas, karena dalam ajaran Alkitab tertulis, "Memaafkan kesalahan orang lain tidak cukup hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus menerus".

3) "Elek marboru".

Biasanya diperpanjang: "Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru." Artinya : Kalau ingin kaya, berlaku membujuklah terhadap "boru".

Keterangan: Sebenarnya menurut 'adat Batak, "boru" itu dalam hubungan kekeluargaan berada di bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran leluhur Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada "boru" sekali-kali tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara "boru" dan "hulahula", yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan "kaya" di sini harus diartikan "perasaan kaya", yang maksudnya "perasaan senang". Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak.


Dalam hal adanya perselisihanpun dengan "boru", maka hal membujuk inipun harus dipertahankan karena pengaruh dan akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti pesan nenek moyang "somba marhulahula" tersebut diatas, sehingga. penyelesaian persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang harmonis.

4) "Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu."

Artinya: Jika kamu ingin berbahagia. di dunia ini, hormatilah orang tuamu.

Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat 16, yang berbunyi: "Hormatilah orang tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu."


Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu :

"Tinaba hau toras bahen sopo tu balian,
Na pantun marnatoras ingkon dapotan parsaulian,
Alai na tois marnatoras, olo ma i gomahon ni babiat."

Artinya : Yang menghormati orang tuanya akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orang tuanya mungkin akan diterkam harimau.

Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung satu sama lain. Tentang arti luas dari perkataan: "natoras" (orang tua), maka pendapat ahli-ahli agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu: di samping ibu dan ayah-kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpin-pemimpin, pemerintah dan semua orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan terhadap orang tua yang telah meninggal telah dibahas dalam. "Dapatkah DNT bertahan sampai akhir zaman ?"

Nasehat No. 4 inilah yang paling utama harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang ini. Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai kebahagiaan yang lama di dunia ini.

Di samping yang telah dipaparkan di atas, maka "partuturan" itu mempunyai lagi peraturan-peraturan lain yang juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan "parsubangonjo".

B. Pengertian Parsubangon

Adapun yang dimaksud dengan peraturan "parsubangon" ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap' "hulahula" dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara lelaki istri kita (bahasa Bataknya "bao" tidak boleh berbicara secara. bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu adalah "hulahula" yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus menerima penghormatan sebagai "hulahula", malahan harus lebih daripada yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang "Ina" (ibu) filsafat Batak berbunyi :


"Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina."

Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu.


Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak.


Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap "bao" tersebut, sesuai dengan filsafat Batak:


"Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho,
Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao."

Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita.

Tentang penghormatan terhadap istri adik kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya, "Kenapa begitu, bukankah istri adik kita itu tidak termasuk "hulahula", malahan adik kita itu dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian juga?". Pertanyaan itu memang beralasan benar, karena penghormatan terhadap "anggiboru" (sebutan dalam bahasa Batak untuk istri adik) itu nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar karena itu perlu diberikan penjelasan ringkas.


Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai ayah baginya, terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri adik kita itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi harus lebih dari itu menurut fungsi kita sebagai "ayah" suaminya (mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu penuh; perhubungan ini termasuk golongan "parsubangon"

Sudah barang tentu ketertiban pergaulan tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan kemesuman yang sering mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu kala, oleh karena rumah-rumah biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak "ripe") dan rumah-rumah itu tidak mempunyai kamar-kamar, sehingga ketertiban didalamnya antara keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah kepada kesadaran ber-DNT.

Sudah barang tentu sudah ada sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu berupa hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran atas ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi :


"Habang pidong pua manjoloani sidaodao,
Sai mangunsisi do nasa tua sian jolma na so marpaho,
Sipalea natuatua na so umboto adat marbao."

Artinya : Segala tuah akan menyisih (lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun dan yang tidak menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap "bao"

Pada zaman dahulu "parsubangon" luar biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi tahukan kepada "bao" nya, bahwa makanan telah menunggu "bao" nya itu, tidak akan menujukan panggilannya langsung kepada "bao" nya itu, tetapi kepada tiang rumah dan akan berkata "E tiang, makanlah."

Pada zaman sekarang ini hal serupa itu tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya dengan cara biasa, tetapi deagan penuh sopan santun.


C. Perkembangan Partuturan

Adapun yang menjadikan adanya "partuturan" itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga.


Yang pertama (semarga) menjadikan "pardongan sabutuhaon" (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak semarga) menjadikan "parhula ianakkonon" (hal ber "hulahula" dan ber "boru"). Diantara kedua golongan "partuturan" itu maka "pardongan sabutuhaon" lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang "parhula ianakkonon" dapat luntur dan pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau terjadi perceraian antara suami istri. Namun "parhula ianakkonon" itu sama saja kedudukannya dalam DNT dengan "pardongan sabutuhaon".

Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: "pardongan sabutuhaon" boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah "dongan sabutuha" saya. Lain halnya dengan "hulahula" dan "boru" yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya "hulahula" dan "boru".

Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah, perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur menurut kehendak kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anak-anak saya dengan famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (ber"hulahula" dan ber"boru") dengan marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat, Silitonga dan lain-lain marga lagi, tetapi belum dengan marga Tobing dan saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan marga Tobing itu, karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang jauh) kawin dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan tercapailah keinginan saya itu.

Dimanakah batas-batas "partuturan" itu?

Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat luasnya "partuturan" Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab," Ada filsafat Batak tentang itu bunyinya sebagai berikut :

Poda do sibahen na sursuran;
Roha do sibahen dao ni partuturan.

Artinya : Pelajaran-pelajaran yang diterimalah menentukan kepandaian seseorang dan hatilah yang menentukan batas-batas "partuturan". Maksudnya : kemauan dan suka hati oranglah yang menentukan batas-batas "pertuturan" nya. Mau luas bisa, mau sempit boleh juga. Dengan sempit dimaksud hanya famili dikenal saja. Kalau dikatakan luas, maka turutlah semua famili yang belum dikenal dan yang belakangan inilah yang paling banyak. Dapatlah kita bayangkan betapa banyaknya jumlah itu, bila kita ingat bahwa "hulahula" dan "boru" semua teman sermarga kita turut menjadi "hulahula" dan "boru" kita.

Selain itu ada lagi cara yang sangat unik khas Batak, untuk memperluas bidang kekelurgaannya. Di bawah ini diberikan beberapa buah contoh :


A dan B, sama-sama orang Batak, duduk berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah orang Batak totok (artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk di sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : "Apa marga saudara?"

"Siregar," sahut si B. Kebetulan si A pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, "Tingkat berapa keluarga saudara?" Jawab si B, "Tingkat delapanbelas (18)". Mendengar itu berkatalah si A. "Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat enambelas."


Hubungan kekeluargaan yang baru saja ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus dipraktekkan dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba saatnya membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, "Tan taran tante, Masi garar kopina be"

Artinya: Masing-masing membayar kopinya.


Tetapi dengan segera si B membuka dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa si B membayar? Karena dia merasa bahwa dia adalah "cucu" si A dan harus menghormati "neneknya" si A itu sesuai dengan peraturan DNT.


Contoh kedua :

Dalam hal ini si A dan si B berlainan marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar. Maka terjadilah pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, "Santabi, lae. Halak hita do hamu?" (Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, "Ba i do." (Ya begitulah) Si A melanjutkan, "Antong, Jolo hutiptip ma sanggar bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma marga, asa binoto partuturan."


Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan "partuturan" kita.


Sahut si B, "Siregar do ahu." (Saya Siregar).


Mendengar itu si A agak bingung sebentar karena dia sendiri adalah marga Nababan, dan di antara familinya yang dekat di kampungnya tak ada seorang pun yang bermarga Siregar. Namun dia perlu mengetahui hubungan famili dengan temannya seperjalanan itu, agar selama perjalanan itu dia dapat bergaul dengan si B. Lalu di perasnya otaknya mengingat, apakah ada di antara familinya yang banyak itu yang bermarga Siregar. 0 ya, benar di Padangsidempuan ada seorang marga Nababan beristri putri Siregar. Sebenarnya hubungannya dengan teman semarganya yang di Sidempuan itu sudah jauh di atas, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi si A, karena menurut peraturan DNT, dia berhak penuh menyebut orang itu adik atau kakaknya. Maka dengan muka berseri-seri dia berkata kepada si B, "Bo, syukurlah, saudara adalah "hulahula" saya, karena ada saudara saya di Sidempuan yang beristri boru Siregar. Horaslah, "tulang" (mamak)." Sahut si B, "Kalau begitu syukurlah. Horas ma, amangboru (amangboru ialah panggilan terhadap bapak suami saudara perempuan. kita ataupun suami dari saudara perempuan ayah kita).".


Juga dalam hal ini A dan B memandang hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan terus dipraktekkan. Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si B duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih muda, si B menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran itu sebagai "hulahula". Tetapi si A mempertahankan ajakannya, katanya, "Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan, karena itu kita harus menurut benar-benar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar kopipun si A menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada hubungan kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu, tetapi juga di tempat-tampat lain dimana saja mereka bertemu.


Sekian penerangan tentang "partuturan".


sumber: horas habatahon

Ukiran Rumah Batak Toba


Ukiran Unik di Rumah Adat Batak

Bila masa kini umumnya rumah-rumah dibangun minimalis, maka di masa lalu keberadaan ornamen menjadi bagian desain arsitektur yang menarik. Tak heran bila saat ini banyak orang yang senang melihat kembali rumah-rumah tradisional di berbagai tempat. Bagi mereka yang berencana untuk berkunjung menyaksikan Festival Danau Toba 8-14 September 2013, berwisata ke rumah-rumah adat Batak adalah kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan.
Bicara soal rumah adat Batak, tak bisa dilupakan keberadaan gorga, ukiran khas suku Batak. Walaupun ukiran tersebut juga terdapat pada sejumlah alat musik tradisional Batak, namun gorga lebih dikenal sebagai ornament penting yang terdapat pada bagian luar rumah adat Batak.
Gorga memang dikenal sebagai karya seni ukir, namun pada kenyataannya seni lukis juga berperan penting dalam keberadaan gorga. Lukisan itu lebih dalam bentuk pengecatan yang senada. Gorga itu dihiasi (dicat) dengan tiga warna, merah (narara), putih (nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.
Sebelum orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka memakai "batu hula" untuk warna merah, "tano buro" (sejenis tanah liat tapi berwana putih) untuk warna putih, dan untuk warna hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari jenis beras yang bernama beras Siputo.
Selain gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal sebagai "singa-singa", suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari gambaran "sihapor" (belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.
Hal ini dikukuhkan dengan filsafat warga setempat, "Metmet pe sihapor lunjung di jujung do uluna". Itu berarti, meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung, namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga integritas dan citra nama baiknya.
Suatu pelajaran berharga yang seharusnya tetap menjadi keyakinan manusia modern saat ini. Bukan hanya untuk warga Batak, tetapi untuk umat manusia secara keseluruhan. Selalu menjaga integritas dan nama baik tiap individu.

sumber : habatakon01.blogspot.com

Jenis Rumah Adat Batak

Jenis Rumah Adat Batak

Oleh : Jediaman Hutapea 

Jenis Rumah Batak Toba adalah gambaran masyarakat Batak Toba hidup bersama dalam satu kesatuan itu (Sitolumbea) dan adanya pengakuan kebebasan pribadi dalam arti rumah tangga yang tergambar pada Jabu sibaba Amporik. Satu hal yang menarik dari rumah batak toba ini adalah tidak mempergunakan paku sebagai pengikat atau pelekat. Pengikat dan pelekatnya hanya menggunakan tali dan rotan serta hansing hansing terdiri dari kayu keras berasal dari inti pohon enau atau tuas kayu juhar.
JABU SITOLUMBEA
Pintunya dari bawah bagian tengah sebelah muka. Untuk memasuki rumah, kepala lebih dahulu masuk berada didalam rumah baru bagian kaki. Dapat dikatakan untuk masuk ke rumah batak toba adalah dengan naik tangga lalu menyuruk dari bawah baru masuk keatas kedalam rumah.
Apa maksud model rumah demikian ? masih belum diteliti. Apakah hal itu bermakna agar seseorang berkomunikasi dengan seseorang lebih dahulu dengan sopan santun melalui bagian kepala yaitu bagian kening-muka-telinga dan mulut baru bagian kaki, belum jelas sampai sekarang. Penghuni rumah ini adalah nasaripe keluarga basic batak toba yaitu Parjabu Bona- Parjabu Suhut- Parjabu Soding- Parjabu Tamparpiring. Ditengah tengahnya terdapat Dapur dengan kelengkapannya dan sarana tempat pemujaan terhadap Mulajadi Nabolon dan leluhur mereka.

Jenis Jabu Sitolumbea di Huta Bibiraek Kecamatan Laguboti

JABU SIBABA NI AMPORIK
Penguni rumah ini adalah anak laki laki yang baru berkeluarga dari nasaripe tersebut yang lebih senang berumah sendiri dengan pintu bagian rumah dari bagian tengah muka. Rumah ini agar tampak lebih anggun. Dan jabu sitolumbea tampaknya lebih kukuh.
Ada yang menyatakan rumah ini adalah untuk Raja, dalam arti bukan untuk penguasa melainkan untuk seorang yang penuh tanggung jawab. Karena rumah tersebut adalah bentuk keinginan berdiri sesuai keinginan kebebasan manusia yang dalam hal ini bahwa penghuni Sibaba ni Amporik tetap terikat dalam hubungan kekerabatan Batak Toba di dalam kemandiriannya itu.

Jenis Jabu Si Baba ni Amporik di Lumban Lobu Parik - Kec. Porsea


Pengertian jabu batak memiliki prinsip sesuai dengan fungsi kekerabatan. Dan setiap mendirikan jabu tersebut harus memperhatikan pintu masuk ke rumah dari muka bangunan. Dengan memperhatikan pintu masuk ke rumah maka dengan sendiriannya, bagian belakangsudut kanan tempat upacara menjadi jabu bona dan bagian belakang sudut kiri menjadi jabutampar piring dan bagian muka sudut kiri menjadi jabu suhut serta bagian muka sudut kanan menjadi jabu soding. Termasuk juga harus memperhatikan bagaian telaga dan halangulu.

Makna Filsofis Rumah Adat Batak

Makna Filosofi Rumah Adat Batak

 oleh Simarsoit
Pintu yang rendah berukuran 1.5 meter pada rumah adat Batak yang membuat para tamu yang mengunjunginya menunduk melambangkan kesopanan. Seseorang harus menunduk agar bisa masuk rumah tersebut, sama halnya dengan keharusan tamu menghormati pemilik rumah

 
Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing. Suku Batak Toba adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal sebagai penduduk asli disekitar Danau Toba di Tapanuli Utara. Pola perkampungan pada umumnya berkelompok. Kelompok bangunan pada suatu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan Utara dan Selatan. Barisan Utara terdiri dari lumbung tempat menyimpan padi dan barisan atas terdiri dari rumah adat, dipisahkan oleh ruangan terbuka untuk semua kegiatan sehari-hari.

Desa-desa di daerah Danau Toba, meskipun saat ini telah kehilangan dibandingkandengan bentuk desa masa lampau, tetapi ciri yang umum masih ada bahkan pada desa-desa yang kecil, yaitu dikelilingi oleh sebuah belukar bambu. Pohon-pohon bambu sangat tinggi dan seringkali sulit untuk melihat rumah-rumahnya dari luar desa itu, kecuali didaerah yang berbukit. Di sekitar Balige, poros bangunan yang panjang mempunyai arah Utara-Selatan sedang di daerah bukit poros bangunan yang panjang sering diorientasikan secara melintang ke arah sudut-sudut yang tepat ke lereng-lereng bukit. Di daerah Samosir, poros bangunan yang panjang diarahkan ke Timur-Barat.

Pada mulanya Huta, Lumban, atau kampung itu hanya dihuni oleh satu klan atau marga dan Huta itu pun di bangun oleh klan itu sendiri. Jadi sejak mulanya Huta itu adalah milik bersama. Sebagaimana ciri khas orang Batak yang suka gotong royong, demikianlah mereka membangun Huta. Oleh karena Huta didiami oleh sekelompok orang yang semarga, maka ikatan kekeluargaan sangat erat di Huta itu. Mereka secara gotong royong membangun dan memperbaiki rumah, secara bersama-sama memperbaiki pancuran tempat mandi, memperbaiki pengairan, mengerjakan ladang dan sawah, dan bersama-sama pula memetik hasilnya.

Biasanya Huta hanya didiami beberapa anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur. Disebabkan oleh pertambahan penduduk, kemudian dibangunlah rumah dekat rumah leleuhur atau ayah yang pertama. Demikian seterusnya bangunan rumah makin bertambah, sehingga terbentuk perkampungan yang lebih ramai. Sering pula kampung itu terdiri dari beberapa kelompok kampung-kampung kecil, yang hanya dipisahkan pagar bambu yang ditanam dipinggiran kampung.

Adanya usaha beberapa orang dari anggota masyarakat dalam satu kampung untuk memisahkan diri dan membentuk kampung sendiri, dapat membuat berdirinya Huta lain. Suatu Huta yang baru, hanya dapat diresmikan kalau sudah ada ijin dari Huta yang lama (Huta induk) dan telah menjalankan suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang kepada Huta induk.

Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau.

Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang pada kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal, asta dan langkah seperti ukuran-ukuran yang pada umumnya dipergunakan pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerah-daerah lain. Pada umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-ukiran yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional Batak.
Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh makna dan arti. Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotong royong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif.

Ruma Parsantian didirikan oleh sekeluarga dan siapa yang jadi anak bungsu itulah yang diberi hak untuk menempati dan merawatnya. Di dalam satu rumah dapat tinggal beberapa keluarga , antara keluarga bapak dan keluarga anak yang sudah menikah. Biasanya orangtua tidur di bagian salah satu sudut rumah. Seringkali keluarga menantu tinggal bersama orangtua dalam rumah yang sama.

Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya tritunggal benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan dengan atap rumah; Benua Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan dengan lantai dan dinding; Benua Bawah sebagai tempat kematian dilambangkan dengan kolong. Pada jaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah harus melalui tangga dari kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak tangga. Bersambung.

Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing. Sebelum meletakkan pondasi lebih dahulu diadakan sesajen, biasanya berupa hewan, seperti kerbau atau babi. Caranya yaitu dengan meletakkan kepala binatang tersebut ke dalam lubang pondasi, juga darahnya di tuang kedalam lubang. Tujuannya supaya pemilik rumah selamat dan banyak rejeki di tempat yang baru.

Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk memikul bagian atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat panjang. Balok untuk menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang yang lebih tebal dari papan. Berfungsi untuk mempersatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk jalannya kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.

Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan (balatuk tunggal), terbuat dari potongan sebatang pohon atau tiang yang dibentuk menjadi anak tangga. Anak tangga adalah lobang pada batang itu sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya terbuat dari sejenis pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga betina (balatuk boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras dan jumlah anak tangganya ganjil.

Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan oleh papan yang agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang depan dan belakang. Pada waktu peletakannya, tepat di bawah tiang ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur ayam yang telah dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.

Rumah adat Batak Toba pada bagian-bagian lainnya terdapat ornamen-ornamen yang penuh dengan makna dan simbolisme, yang menggambarkan kewibawaan dan kharisma. Ornamen-ornamen tersebut berupa orang yang menarik kerbau melambangkan kehidupan dan semangat kerja, ornament-ornamen perang dan dan sebagainya. Teknik ragam hias terdiri dari dua cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Atap rumah terbuat dari ijuk yang terdiri dari tiga lapis. Lapisan pertama disebut tuham-tuham ( satu golongan besar dari ijuk, yang disusun mulai dari jabu bona tebalnya 20 cm dan luasnya 1x1,5 m2). Antara tuham yang satu dan dengan tuham lainnya diisi dengan ijuk agar permukaannya menjadi rata. Lapisan kedua, yaitu lalubaknya berupa ijuk yang langsung diambil dari pohon Enau dan masih padat, diletakkan lapis ketiga. Setiap lapisan diikat dengan jarum yang terbuat dari bambu dengan jarak 0,5 m.

Sebelum mendirikan bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Hasil musyawarah dikonsultasikan kepada pengetua untuk memohon nasihat atau saran. Setelah diadakan musyawarah, tindakan berikutnya adalah peninjauan tempat. Apabila tempat tersebut memenuhi persyaratan, maka ditandai dengan mare-mare yakni daun pohon enau yang masih muda dan berwarna kuning, yang merupakan pertanda atau pengumuman bagi penduduk disekitarnya bahwa tempat tersebut akan dijadikan bangunan.
Tahap pertama adalah pencarian pohon-pohon yang cocok kemudian ditebang dan dikumpulkan disekitar tempat-tempat yang akan didirikan rumah. Kemudian bahan-bahan tersebut ditumpuk ditempat tertentu agar terhindar dari hujan dan tidak cepat lapuk atau menjadi busuk.

Dalam mendirikan suatu rumah adat biasanya memakan waktu sampai lima tahun. Sudah barang tentu memakan biaya banyak, karena banyaknya hewan yang dikorbankan, untuk memenuhi syarat-syarat dan upacara-upacara yang diadakan, baik sebelum mendirikan bangunan (upacara mengusung bunti), pada waktu mendirikan bangunan (upacara parsik tiang) pada waktu memasang tiang, dan panaik uwur (pada waktu memasang uwur) maupun pada waktu bangunan telah selesai, yaitu upacara memasuki rumah baru (mangopoi jambu) dan upacara memestakan rumah (pamestahon jabu)

Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing.
Daerah yang ditempati oleh suku Batak Simalungun terletak diantara daerah Karo dan Toba di Sumatera Utara. Pada waktu ini sudah hampir tidak terdapat lagi desa-desa tradisional dari suku Batak Simalungun, yang dahulunya merupakan sebuah desa yang besar sekali dikelilingi oleh pohon-pohon beracun. Desa tersebut dibangun di atas sebuah bukit, dan sulit sekali untuk dimasuki kecuali melewati terowongan-terowongan yang langsung dapat mencapai tengah-tengah desa.

Arsitektur tradisional dari suku Batak Simalungun masih dapat dipelajari dari empat jenis bangunan yang masih ada, dalam bentuk Balai Buttu (pintu gerbang rumah), Jambur (gudang), Bolon adat (rumah raja) dan Balai Bolon Adat (gedung pertemuan dan pengadilan). Balai Buttu dicapai dengan anak tangga dari kayu, luasnya kira-kira 6m2 dan tingginya 6 m. Dasarnya adalah balok-balok horisontal yang dibangun dalam bentuk persegi, di susun di atas empat buah batu kali dengan alas ijuk diantara batu dan papan . jambur digunakan untuk menyimpan beras, tetapi dipakai juga sebagai tempat tinggal tamu laki-laki dan tempat dimana para bujangan tidur.

Fungsi dari bangunan ini seperti yang ada di Pematang Purba, tampaknya telah menyimpang dari penggunaan aslinya dan terlihat pada tungku perapiannya. Bagian atas menunjukkan bahwa kegunaan utamanya telah menjadi tempat tinggal dan bukan dipergunakan sebagai tempat penyimpanan beras. Bangunan ini kira-kira luasnya 25 m2 dan tingginya 7m. Strukturnya di atas dua belas batu kali yang tiga menyilang ke depan dan empat dari depan ke belakang. Lantai yang lebih rendah hanya 75 cm dari tanah dan ditopang tiga lapis palang balok. Lumbung digantungkan di atas tungku di tingkat atas, dimana penggunaan utama dari bangunan tersebut tetap sebagai tempat penyimpanan beras.

Balai Balon Adat semula digunakan untuk tempat pertemuan-pertemuan dan untuk membahas masalah penting dalam hukum adat. Sistem pembangunannya sama seperti Balai Buttu, tetapi dalam skala lebih besar. Perbedaan utamanya adalah pada tiang penyangga struktur atap yang diletakkan di atas balok lantai. Tiang berdiameter 35 cmdan dibuat dari kayu yang sangat keras. Dasar dari tiang ini sangat penting dan ditutupi dengan ukiran, lukisan dan tulisan yang berhubungan dengan hukum adat. Bagian depan (Timur) adalah pintu, lebarnya 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Potongan yang lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi pintunya dipenuhi dengan papan tiang jendela vertikal yang membiarkan masuknya cahaya dan angin. Rumah Balon Adat (rumah raja) terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang besar dibangun pada tiang-tiang vertikal, sedangkan yang kecil disusun pada tumpukan balok horisontal, pintu masuk pada sisi sebelah Timur diapit oleh balkon atas dan bawah, menopang pada sambungan dari bagian atap ke bagian depan bangunan. Ujung atapnya sederhana, dua puluh tiang yang menopang lantai dibentuk menjadi ortogal dan dicat dengan motifgeometris hitam putih.

Tidak seperti bangunan lainnya, bangunan ini mempunyai lantai ganda dengan gang yang menurun ke pusat pada lantai yang lebih rendah. Lantai yang rendah berada 2,80 m dari tanah dan gang digantungkan dengan rota yang diikat pada dua pusat kayu, dilengkapi dengan kumpulan papan yang terbentuk dengan indah sebagai dekorasinya. Tungku perapian dibangun dari sisa pembakaran kayu dan dipenuhi dengan tanah. Di atas tungku dipasang ayunan dimana peralatan memasak disimpan dan bahan makanan dikeringkan serta diasapi.

Pintu pada ujung sebelah Timur kamar raja berisi ruangan tidur kecil dan dua tungku api. Konstruksi pada bagian bangunan ini sama dengan rumah pertemuan (Balai Balon adat) kecuali struktur lantainya sedikit rumit sebagai akibat dari tungku tersebut. Penutup atap keseluruhan adalah jalinan ijuk pada kaso dan papan kecil dari bambu. Bumbungan dikat dengan ijuk dengan hiasan kepala kerbau pada puncaknya.

Pada bangunan Simalungun susunan strukturnya terdiri dari tiang-tiang bergaris tengah 40 sampai 50 cm. Sebagian besar adalah balok-balok dan tiang-tiang yang dibiarkan dalam potongan bundar yang ditebang dari hutan. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu keras, kayu tongkang dan kadang-kadang keseluruhan bambu digunakan dalam jalinan ijuk yang diikat dengan rotan atau bambu belah. Struktur tersebut ditata di atas batu-batu kali yang besar kecuali untuk rumah raja. Tiang-tiangnya ditanam di dalam tanah. Pusat tiang terpenting dari gedung pertemuan diukir dari kayu keras yang tebal. Paku tidak digunakan dalam konstruksi, hanya pasak dan tali ijuk baji (sentung).
Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai duabelas keluarga dapat tinggal di rumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami, istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orangtua sampai menjelang usia dewasa, pada pria dewasa (bujangan) tidur di bale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain di rumah lainnya.

Rumah adat Batak Karo berukuran 17x12 m2 dan tingginya 12m. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunung atau sungai. Delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap. Kedua pintumasuk dan kedelapan jendela dipasang di atas dinding yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu setinggi orang dewasa dan jendela ukurannya lebih kecil. Pintu mempunyai daun pintu ganda sedangkan jendela mempunyai daun jendela tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau bambu. Bumbungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. Bagian terendah dari atap pertama di bagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dari atap yang menonjol ditutup dengan tikar bambu yang sangat indah.

Pemahaman Tentang Rumah Adat Suku Batak

Pemahaman Tentang Rumah Adat Suku Batak

Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang banyak sekali tinggal di pulau Sumatera, namun saat ini keturunan suku Batak sudah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu ciri khas yang menarik adalah rumah adat suku Batak yang bentuknya sangat unik.

Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang melengkung dan runcing di tiap ujungnya.

Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah adat suku Batak ini memiliki makna dan arti tersendiri.Filosofi rumah adat suku batak memang sangat menarik untuk dipelajari, mulai dari proses pembangunan rumah sampai segala dekorasi, ternyata semuanya memiliki makna yang cukup dalam.

Pembangunan Rumah Bolon

Proses pembangunan rumah adat suku Batak selalu dilaksanakan secara gotong royong. Bahan yang digunakan adalah bahan yang dengan kualitas baik, umumnya seorang pande (tukang) akan memilih kayu-kayu dengan cara memukul kayu tersebut dengan suatu alat untuk mencari bunyi kayu yang nyaring.
Pondasi rumah adalah hal yang terpenting, dibuat dengan formasi berbentuk segi empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna dari pondasi ini sendiri adalah saling bekerja sama demi memikul beban yang berat.
Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang biasa disebut tiang “ninggor” dibantu oleh kayu penopang yang lain. Tiang “ninggor” ini lurus dan tinggi, orang suku Batak memaknainya sebagai simbol kejujuran. Untuk menjunjung tinggi kejujuran, perlu didukung oleh rasa keadilan (disimbolkan oleh kayu penopang pada “ninggor”).

Di bagian depan atap terdapat “arop-arop” bermakna harapan untuk bisa hidup layak. Lalu ada “songsong boltok” untuk menahan atap, yang punya arti bila ada pelayanan tuan rumah yang kurang baik sebaiknya dipendam dalam hati saja.

Interior Rumah Adat Suku Batak


Orang suku Batak selalu membersihkan ruangan rumah dengan cara menyapu semua kotoran dan mengeluarkannya lewat lubang “talaga” yang ada di dekat tungku masak. Hal ini juga bermakna untuk membuang segala keburukan di dalam rumah, juga melupakan kelakuan-kelakuan yang tidak baik.
Di dalam rumah terdapat semacam rumah panggung kecil yang mirip balkon pada rumah biasa. Tempat ini untuk menyimpan padi, bermakna pula sebagai pengharapan untuk kelancaran rezeki.

Di setiap rumah di bagian pintu masuk, selalu ada tangga. Bagi orang lain, bila ada tangga rumah rusak, mungkin akan mengeluh. Tapi bagi orang Batak, bila tangga rumah ini cepat rusak/aus, itu malah membanggakan. Karena itu artinya sering dipakai orang/dikunjungi orang karena tuan rumah tersebut adalah orang yang baik dan ramah.


Gorga


Gorga adalah pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah adat suku Batak. Hiasan ini sendiri memiliki nama-nama tersendiri berdasarkan bentuk ukirannya :
  1. Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan matahari yang merupakan sumber kehidupan manusia.
  2. Gorga desa naualu : menggambarkan 8 penjuru mata angin yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas ritual suku Batak
  3. Gorga singa-singa : menggambarkan tuan rumah sebagai orang yang kuat, kokoh, pemberani dan berwibawa.

Itu beberapa contoh nama gorga, masih cukup banyak nama gorga lainnya yang memiliki makna tertentu. Gorga sendiri sering dilukis dengan 3 warna :
  1. Merah : melambangkan kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir kebijaksanaan.
  2. Putih : melambangkan kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
  3. Hitam : melambangkan kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.


penemuan rumah adat batak

Penemuan Rumah Adat Batak di Dasar Danau Toba

rumah adat batak

Mitos tentang danau toba memang topik yang sangat menarik untuk disimak disamping karna banyak teori yang menyatakan danau toba itu terbentuk karna se ekor ikan mas yang merupakan cerita dongeng dan mitos mitos kecil di balik terjadinya danau toba dan para ilmuwan menyatakan bahwa danau toba itu terjadi akibat ledakan super yang terjadi di gunung toba sekitar 73.000 tahun yang lalu.

Danau Toba yang merupakan salah satu danau terluas didunia ini memang menyimpan banyak mistis dari teori-teori dan kejadian nyata yang tampak kita lihat dalam berbagai acara ritual yang di persembahkan di danau toba, persembahan atau sering di sebut pelean bagi orang batak ini tidak jauh berbeda seperti apa yang dilakukan orang jawa pada umumnya, jika di jawa disebut dengan sesajen maka di orang batak acara ritual ini disebut dengan Pelean. Ritual ini masih sangat melekat dalam kehidupan orang batak, ritual itu sering dilakukan dalam acara-acara keluarga, pesta adat, pesta danau toba dan bahkan ritual juga sering di lakukan untuk menemukan atau meminta sesuatu hal.

Hal ini yang membuat saya tertarik untuk membuat tulisan ini ”Rumah Batak di Dasar Danau Toba” penemuan ini memang belum mendapat fakta apa-apa dan bagaimana kebenarannya , menurut salah seorang tokoh batak yang merupakan Nara sumber dari acara Mitos Danau Toba yang di tayangkan di kompas TV mengatakan: kejadian yang terjadi beberapa tahun yang lalu, kala itu seseorang yang tenggelam di danau toba tidak bisa di temukan hingga beberapa hari, kemudian para tokoh batak membuat sebuah pelean (sesajen) untuk mohon petunjuk atas orang yang tenggelam ini, kemudian benar saja ada petunjuk dan tim SAR yang berusaha mencari si korban tersbut berhasil menemukan korban yang tenggelam di dasar danau toba, tetapi yang mengagetkan korban di temukan didalam pemukiman rumah adat batak yang ada didasar danau toba, yang menurut Tim Sar tersebut Sangat indah dan menarik sekali.

Hingga tulisan ini saya turunkan saya tidak menemukan satupun bukti mengenai Fakta yang di ungkapkan oleh Tim SAR tersebut, bagaimana kebenarannya. Tetapi jika kita mengarah ke kejadian Meletusnya Gunung Toba dan melihat kembali sekitaran danau Toba terutama samosir, hal ini memang cukup kuat untuk di jadikan sebagai bukti, kita melihat dari ketinggian gunung pucuk buhit yang merupakan anak dari gunung toba itu sama sekali masuk logika dan hal ini merupakan sesuatu yang harus di telusuri sebenarnya.

Gunung Toba yang meletus hingga radius sampai ke sri langka ini memang tentu masih menyisahkan bukti-bukti nyata yang perlu di telusuri, dan danau toba merupakan saksi bisu dari kejadian tersebut.
Berbagai kejadian mistis di Di danau toba juga sering terjadi terutama di pulau silalahi yang konon katanya merupakan salah satu pulau yang sangat angker, berbagai kejadian aneh sering terjadi disana, dan kejadian-kejadian lain yang terlihat mistis di danau toba seperti kapal terbalik, tenggelam dan banyak lagi. Tapi kembali kepada diri kita sendiri .

Berbagai macam cerita yang melatar belakangi danau toba ini jelas terbukti bahwa keberadaan danau ini karna ada letusan gunung berapi ratusan tahun yang lalu, dan ini sangat jelas. Dan bagaimana pun juga mitos itu tidak bisa lepas dari logos seperti yang beberapa nara sumber katakan, dan mitos ini diciptakan agar masyarakat sumatra utara, itu bisa menjaga keindahan alam karna keindahan alam ini merupakan warisan budaya yang harus di pertahankan dan di lesatarikan, dan berbagai macam cerita. Sekarang kembali kepada anda ingin mempercayai sebuah mitos atau anda mempercayai fakta-fakta di balik sebuah mitos.
Tulisan ini saya rangkum dari Hasil Tayangan Kompas TV 21 feb 2013 pkl 21.00 “Mitos Danau Toba”
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco