Rabu, 30 Oktober 2013

penemuan rumah adat batak

Penemuan Rumah Adat Batak di Dasar Danau Toba

rumah adat batak

Mitos tentang danau toba memang topik yang sangat menarik untuk disimak disamping karna banyak teori yang menyatakan danau toba itu terbentuk karna se ekor ikan mas yang merupakan cerita dongeng dan mitos mitos kecil di balik terjadinya danau toba dan para ilmuwan menyatakan bahwa danau toba itu terjadi akibat ledakan super yang terjadi di gunung toba sekitar 73.000 tahun yang lalu.

Danau Toba yang merupakan salah satu danau terluas didunia ini memang menyimpan banyak mistis dari teori-teori dan kejadian nyata yang tampak kita lihat dalam berbagai acara ritual yang di persembahkan di danau toba, persembahan atau sering di sebut pelean bagi orang batak ini tidak jauh berbeda seperti apa yang dilakukan orang jawa pada umumnya, jika di jawa disebut dengan sesajen maka di orang batak acara ritual ini disebut dengan Pelean. Ritual ini masih sangat melekat dalam kehidupan orang batak, ritual itu sering dilakukan dalam acara-acara keluarga, pesta adat, pesta danau toba dan bahkan ritual juga sering di lakukan untuk menemukan atau meminta sesuatu hal.

Hal ini yang membuat saya tertarik untuk membuat tulisan ini ”Rumah Batak di Dasar Danau Toba” penemuan ini memang belum mendapat fakta apa-apa dan bagaimana kebenarannya , menurut salah seorang tokoh batak yang merupakan Nara sumber dari acara Mitos Danau Toba yang di tayangkan di kompas TV mengatakan: kejadian yang terjadi beberapa tahun yang lalu, kala itu seseorang yang tenggelam di danau toba tidak bisa di temukan hingga beberapa hari, kemudian para tokoh batak membuat sebuah pelean (sesajen) untuk mohon petunjuk atas orang yang tenggelam ini, kemudian benar saja ada petunjuk dan tim SAR yang berusaha mencari si korban tersbut berhasil menemukan korban yang tenggelam di dasar danau toba, tetapi yang mengagetkan korban di temukan didalam pemukiman rumah adat batak yang ada didasar danau toba, yang menurut Tim Sar tersebut Sangat indah dan menarik sekali.

Hingga tulisan ini saya turunkan saya tidak menemukan satupun bukti mengenai Fakta yang di ungkapkan oleh Tim SAR tersebut, bagaimana kebenarannya. Tetapi jika kita mengarah ke kejadian Meletusnya Gunung Toba dan melihat kembali sekitaran danau Toba terutama samosir, hal ini memang cukup kuat untuk di jadikan sebagai bukti, kita melihat dari ketinggian gunung pucuk buhit yang merupakan anak dari gunung toba itu sama sekali masuk logika dan hal ini merupakan sesuatu yang harus di telusuri sebenarnya.

Gunung Toba yang meletus hingga radius sampai ke sri langka ini memang tentu masih menyisahkan bukti-bukti nyata yang perlu di telusuri, dan danau toba merupakan saksi bisu dari kejadian tersebut.
Berbagai kejadian mistis di Di danau toba juga sering terjadi terutama di pulau silalahi yang konon katanya merupakan salah satu pulau yang sangat angker, berbagai kejadian aneh sering terjadi disana, dan kejadian-kejadian lain yang terlihat mistis di danau toba seperti kapal terbalik, tenggelam dan banyak lagi. Tapi kembali kepada diri kita sendiri .

Berbagai macam cerita yang melatar belakangi danau toba ini jelas terbukti bahwa keberadaan danau ini karna ada letusan gunung berapi ratusan tahun yang lalu, dan ini sangat jelas. Dan bagaimana pun juga mitos itu tidak bisa lepas dari logos seperti yang beberapa nara sumber katakan, dan mitos ini diciptakan agar masyarakat sumatra utara, itu bisa menjaga keindahan alam karna keindahan alam ini merupakan warisan budaya yang harus di pertahankan dan di lesatarikan, dan berbagai macam cerita. Sekarang kembali kepada anda ingin mempercayai sebuah mitos atau anda mempercayai fakta-fakta di balik sebuah mitos.
Tulisan ini saya rangkum dari Hasil Tayangan Kompas TV 21 feb 2013 pkl 21.00 “Mitos Danau Toba”
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco
Kesaktian Laklak, dan Legenda Raja-Raja Batak Zullifkar AB | Selasa, 26 Maret 2013 - 14:32 WIB IMG-406 Patung Si Raja Batak yang ada di Museum Batak di Balige. (kini.co/ist) medan, kini.co – Tarombo atau silsilah garis keturunan dari beragam etnis yang hidup saat ini, menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia di atas muka bumi. Tarombo atau disebut juga trah, terkadang tak hanya ditulis berdasarkan penelurusan ilmiah para tokoh dan ahli, tapi kerap juga dikembangkan melalui legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut. Legenda Malim Kundang di Ranah Minang, Gurindam Duabelas di Pulau Penyengat Kepri, Putri Hijau di Tanah Deli, Jaka Tingkir di Jawa, hingga Huta Sianjur Mula-mula di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Orang Batak atau Halak Hita, merupakan anak cucu dari dua orang putra raja yang bertahta di sekitar Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Kisah yang menceritakan legenda raja-raja Batak ini dirangkum kini.co dari berbagai sumber, antara lain dari Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), Guru Besar Sosiologi-Antropologi Unimed Medan, DR Thalib Akbar Selian, Sekretaris Majelis Adat Alas, Drs S Is Sihotang, tokoh adat masyarakat Pakpak Dairi, dan budayawan, penulis serta penggali Surat Batak atau Laklak, DR Djasamen Maruli Tua Sinaga. Alkisah, Huta Sianjur Mula-mula mempunyai dua putra. Yang tertua bernama Lontungan,dan si bungsu bernama Raja Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka meminta ilmu kesaktian kepada sang ayah. Dengan arif, sang ayah meminta dua putranya itu membangun tempat persembahan di puncak bukit Pusuk Buhit selama tujuh hari, tujuh malam. Setelah selesai dibangun, sang ayah bersama dua putranya, naik ke puncak bukit. Sesampainya di tempat persembahan, mereka mendapati dua buah benda, yang kemudian disebut Pustaha Laklak atau surat Batak. Menurut DR Djasamen, huruf-huruf di pustaha Laklak punya banyak keistimewaan. Beberapa di antaranya huruf-huruf dalam Pustaha Laklak tidak akan basah walau direndam dalam air, akan tetap tampak, walau kertasnya sudah terbakar api, atau dikubur dalam tanah selama 10 tahun. Keistimewaan Pustaha Laklak itu, diyakini DR Djasamen karena ketika akan membuat Salo (bahan tinta Laklak), para nenek moyang selalu dan terlebih dulu memanjatkan doa (martobas). Seperti berikut: ASA HO MA ALE SALO NANI ONDOLHON NUPISO RAUT PANABUNG NANI ALITHONNI API MARJILLANG-JILLANG. ASA JADI MA HO SALO NAMANGUHIRHON RAKSA-RAKSA NI PORTIBON NA SUNTOL INGANANNI-INGANANNA. DIDADANG ARI NASORA MABILTAK NITAMOM NA SORA BUSUK HU UDAN NASORA LITAP. “Tobas Salo ini betul-betul terjadi dan terbukti. Yakni saat kita membuat salo, nyala api diarahkan ke parang atau pisau. Surat Batak bisa menuliskan di luar pola nyata sampai apa yang disebut Banua Holing. Kemudian, bila direndam ke air, tulisan-tulisan huruf-huruf Batak tidak akan basah, bahkan kalau dibakar, huruf-huruf Batak tetap tampak, tapi kertas telah habis terbakar, sampai kalau dikubur dalam tanah satu sampai 10 tahun, huruf-huruf Batak tetap ada, sementara kerta atau kulit kayu sudah jadi tanah,” beber Dr Djasamen. Kembali ke cerita semula, sang Raja kemudian meminta kedua putranya mengambil masing-masing satu Pustaha Laklak, dan meminta kepada si sulung lebih dulu meminta kepada Sang Pencipta apa yang diinginkannya. Si Sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan, kepintaran, kerajaan, kesaktian, dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan serupa juga dipanjatkan si bungsu. Melihat hal ini, sang raja memberikan nama baru kepada si sulung, Guru Tatea Bulan. Sedangkan si bungsu tetap dengan nama Raja Isumbaon. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya, yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, Si Lau Raja bersama empat putrinya, yakni Si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona/abang kandungnya). Bunga Haumasan kawin dengan Sumba, Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau. Kisah Saribu Raja kawin dengan Si Boru Pareme diawali cerita Seribu Raja yang menghadap ayahnya untuk meminta diantarkan ke Pusuk Buhit. Sebab, dalam mimpinnya, Saribu Raja menjadi orang yang sakti, dan untuk itu ia harus ditempa di Pusuk Buhit. Sebelum sang Ayah menyetujui, muncul Geleng Gumeleng yang meminta untuk ikut ditempa di Pusuk Buhut. Saribu Raja protes, dan keduanya pun terlibat pertengkaran, sehingga membuat Saribu Raja meninggalkan abang dan ayahnya masuk ke dalam hutan. Sejak saat itu, Saribu Raja tak pernah kembali. Sementara, di Pusuk Buhit, Raja Geleng Gumeleng ditempa sang ayah menjadi raja sakti. Selanjutnya nama Geleng Gumeleng diubah menjadi Raja Uti. Kisah Saribu Raja memiliki anak Raja Lontung, bermula ketika dalam pengembarannya di dalam hutan, ia bertemu seorang gadis nan cantik jelita. Gadis itu tak dikenal Saribu Raja, tapi hatinya sudah suka. Lama bermenung diri, Saribu Raja akhirnya membuat pelet (mistik pemikat wanita), dan menaruhnya di tanah, persis di jalan yang dilewati gadis impiannya itu. Apa yang terjadi ? Pelet itu bukan mengenai sasaran, melainkan memikat hati Si Boru Pereme, sehingga keduanya pun menjadi suami-istri. Kendati dalam adat Batak, perkawinan sedarah (yakni abang dengan adik) dianggap tabu, namun kekuatan pelet Saribu Raja tak lagi mampu menyadarkan hati Si Boru Pereme, bahwa yang menjadi suaminya kelak, adalah abang kandungnya sendiri. Peristiwa ini membuat Guru Tatea Bulan murka. Saribu Raja pun benar-benar diusir. Sebelum pergi, Saribu Raja masih menyempatkan memberi sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya, dan berpesan bila anaknya lahir agar diberi nama Si Raja Lontung. Kisah Raja Borbor, bermula ketika Saribu Raja yang diusir sang Ayah, kembali harus melakukan pengembaraan. Dalam perjalannya, Saribu Raja terlibat pertempuran dengan Raja Ni Homang. Bila Saribu Raja kalah, dia akan dijadikan anak tangga (diinjak badannya) ke rumah Raja Ni Homang. Sebaliknya, bila Saribu Raja menang, anak gadis Raja Ni Homang menjadi hadiahnya. Bisa ditebak, pertarungan itu akhirnya dimenangkan Saribu Raja. Hasil pernikahan Saribu Raja dengan Boro Mangiring Laut (dikemudian hari diganti namanya menjadi Huta Lollung (kalah bertanding), putri Raja Ni Homang ini, terlahirlah seorang anak laki-laki yang kelak bernama Raja Borbor. Saribu Raja diceritakan tak sempat menunggu kelahiran Raja Borbor, kerena dia kembali melanjutkan pengembaraannya. Belasan tahun kemudian, Raja Lontung, dan Raja Borbor yang sudah menjadi pria dewasa, bertemu dalam perjalanan masing-masing untuk mencari sang ayah, Saribu Raja. Keduanya yang belum saling mengenal sempat bertanding sampai berhari-hari, namun tak ada satu pun di antaranya yang kalah. Akhirnya, keduanya berkenalan. Ketika masing-masing mengetahui siapa lawan bertandingnya, keduanya pun saling berangkulan. Karena, pada dasarnya, mereka berdua adalah abang, dan adik dari satu ayah, dengan dua ibu. Selanjutnya, abang dan adik ini mencari sang ayah, Saribu Raja. Sampai kini, kisah kesaktian Laklak (huruf-hurufnya) atau legenda Raja-raja Batak, terus diceritakan dari mulu ke mulut, dan generasi ke generasi berikutnya. Para tokoh dan budayawan Batak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas masa depan identitas Habatakon. Sebab, di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII (1875-1907), Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Namun di zaman serba moderen ini, dan ketika Bangso Batak lebih banyak memeluk agama Kristiani, dan Islam, identitas Habatakon kian terpinggirkan, bahkan nyaris mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari Bangso batak. (zul)

Sumber: http://indonesia.kini.co/2013/03/26/14/32/50/406/kesaktian-laklak-dan-legenda-raja-raja-batak-2.html
Follow Twitter @kinidotco dan FB kinidotco

Tidak ada komentar:

Posting Komentar